FIRST, CHECK THIS OUT!

falling in love at a coffee shop

a short story by Restiawardani


Dia menunggu lagi. Aku tahu, karena setiap kali aku ke sini, dia selalu ada lebih dulu. Tempat duduknya pun selalu sama, dekat konter kasir tempat Mima akan berdiri...seandainya dia masih ada.

Aku tidak pernah mencoba memberi tahu laki-laki itu, bahwa gadis yang dia tunggu tak akan pernah lagi ke tempat ini, atau ke tempat manapun. Aku tak pernah mencoba memberitahunya.

Laki-laki itu selalu berharap, matanya selalu tertuju pada pintu pegawai, seakan-akan Mima akan muncul di sana. Caranya menjawab telepon yang masuk lewat handphone-nya juga tak pantas, seakan seseorang mengganggu ritual sucinya, setiap hari, di coffee shop ini.

Suatu hari, seseorang lewat di samping lelaki itu dan memanggilnya, Sandy. Tapi selain namanya, Aku tidak tahu hal lain tentang dirinya. Yang aku tahu dia mahasiswa. Aku melihat judul-judul buku yang dia bawa, yang tidak pernah dibaca, seakan benda-benda itu hanya aksesori. Sandy tidak pernah tersenyum pada bukunya. Dia hanya memamerkan lekukan itu di wajahnya ketika menatap aplikasi facebook di laptopnya.

Aku menyukai Sandy. Aku berharap dia melupakan Mima.

Tapi Sandy selalu kembali ke coffee shop ini. Dia selalu menatap konter kasir dengan murung. Ketika kukira dia terbenam dalam facebooknya, suara seperti denting sendok jatuh, atau suara tertawa tiba-tiba dari meja sebelah, atau suara denting mesin kasir, akan dengan mudah mengalihkan perhatiannya. Kepala Sandy pun akan berputar ke arah pintu pegawai, dan template kesedihan itu akan kembali dia aplikasikan saat dia tidak juga menemukan Mima di sana.

Aku tidak tahu mengapa Sandy tidak pernah menanyakan satu orang pun yang bekerja di coffee shop ini tentang keberadaan Mima, karena dia pasti akan langsung mendapatkan jawabannya. Mereka, yang juga sepenuhnya tahu bahwa laki-laki ini datang untuk menemui Mima, juga tak pernah mencoba menyapa atau bertanya. Seperti aku, mungkin mereka suka dengan keberadaannya. Mungkin mereka menikmati kesetiaannya, dan kami terdiam dalam kekaguman.

Suatu waktu, aku pernah mencoba meniupkan kesadaran ke balik matanya, tempat hatinya berada. Tapi kuurungkan. Sandy sepertinya sudah memilikinya. Dia hanya menutupnya, seperti kebanyakan kaumnya, yang lebih memilih hidup berharap dibanding hidup dicekik kenyataan.

Sandy tidak tahu, andai dia tahu. Mima tidak ada karena aku menjemputnya...lebih dari tiga bulan lalu.
Seharusnya Sandy tidak perlu berorasi bisu menyuarakan protesnya karena ketiadaan Mima, dengan setiap hari memasang wajah murung di tempat yang seharusnya hangat dengan kopi dan kebaikan. Dia seharusnya tahu, Aku menjemput Mima, karena aku menginginkannya lebih dari dia mampu membayangkannya. Adakah yang lain di kaumnya yang memiliki hati sejernih Mima? Maka sebelum seseorang mendapatkannya, sebelum mereka menyakitinya, sebelum sesuatu membuat luka di hatinya, sebelum Mima mengotori hatinya, aku mengambilnya.

Kelak, saat Sandy mampu mendengarku, akan kubisikkan permohonan maafku.

Mima kini berdiri di sampingku. Kadang gadis kecil ini mengikutiku, hanya untuk melihat laki-laki yang setiap hari duduk berjam-jam di coffee shop menunggunya.

Aku menyukai Sandy dan kesedihannya yang melelahkan.
Hari ini, kuhembuskan kesadaran itu.

Sandy tersentak terkejut. Terburu-buru dia berdiri. Setelah hampir satu tahun menunggu di coffee shop ini, baru kali ini Sandy pergi ke menemui wanita manajer itu di konter, dan bertanya di mana Mima. Dia tentu saja, sudah menduga apa jawabannya. Tapi tetap saja, begitu mendengarnya, dia hanya terdiam di sana. Tidak ada kemarahan, tidak ada teriakan. Hanya ada air mata yang mengalir pelan di wajah, dalam kebisuan.

Tapi kami tahu Sandy akan baik-baik saja.
Maka aku dan Mima pergi. Kali ini untuk selamanya.


-------------------------------------------------------------------------

I feel bad, as she has erased the short story from her blog and here I took the liberty of repost it in my blog..
I think she will be like a bit mad at me for doing this, but whatta heck hahaha

0 kritikan: